Jumat, 08 September 2023

Sumbu Filosofi Yogyakarta: Pengejawantahan Asal dan Tujuan Hidup


Pada tahun 1755, Sri Sultan Hamengku Buwono I, yang juga dikenal sebagai Pangeran Mangkubumi, mulai membangun Kota Yogyakarta. Pengejawantahan konsep ke dalam tata ruang Kota Yogyakarta dihasilkan dari proses menep atau perjalanan hidup Pangeran Mangkubumi. Dilahirkan sebagai putra Raja Mataram, Sunan Amangkurat IV, Pangeran Mangkubumi tumbuh besar di lingkungan Keraton Kartasura. Karena perpindahan lokasi istana, berikutnya Pangeran Mangkubumi mengetahui persis seluk beluk Keraton Surakarta. Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan konsepsi Jawa dengan mengacu pada bentang alam yang ada, seperti gunung, laut, sungai, serta daratan.

Prinsip utama yang dijadikan dasar pembangunan keraton oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I adalah konsepsi Hamemayu Hayuning Bawono. Artinya membuat bawono (alam) menjadi hayu (indah) dan rahayu (selamat dan lestari). Konsep-konsep tersebut diejawantahkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I dengan Laut Selatan dan Gunung Merapi sebagai poros. Lokasi pembangunannya juga dipilih dekat dengan sumber mata air Umbul Pacethokan. Kontur tanah wilayah bangunan keraton lebih tinggi, seperti di atas punggung kura-kura, dengan diapit oleh 6 sungai, 3 di timur, dan 3 di barat, sehingga bebas dari banjir. Selain sebagai perindang, aneka vegetasi juga ditanam di seputar keraton sebagai media menambatkan makna kehidupan. 

-

Berlawanan dengan anggapan umum, sebenarnya Laut Selatan, Keraton Yogyakarta, dan Gunung Merapi tidak persis berada dalam satu garis lurus. Oleh karena itu, poros bentang alam ketiganya disebut sebagai sumbu imajiner. Sumbu nyata yang membentang utara selatan dalam satu garis lurus adalah jalan yang menghubungkan Tugu Golong Gilig, keraton, dan Panggung Krapyak. Di dalamnya menggambarkan perjalanan siklus hidup manusia berdasarkan konsepsi Sangkan Paraning Dumadi. 

Perjalanan dari Panggung Krapyak menuju keraton mewakili konsepsi sangkan (asal) dan proses pendewasaan manusia. Sementara perjalanan dari Tugu Golong Gilig menuju ke keraton mewakili filosofi paran (tujuan). Yaitu perjalanan manusia menuju Penciptanya.

Panggung Krapyak terletak kurang lebih 2 km dari Keraton Yogyakarta. Berbentuk segi empat dengan tinggi kira-kira 10 meter, lebar 13 meter, dan panjang 13 meter. Panggung Krapyak terdiri dari dua lantai yang dahulu dihubungkan dengan tangga kayu. Lantai atas berupa ruang terbuka berpagar. Bangunan ini dahulu digunakan oleh Sultan untuk menyaksikan prajurit atau kerabatnya dalam berburu (ngrapyak) rusa. 

Secara simbolis, Panggung Krapyak memiliki makna awal kelahiran atau rahim. Ini ditegaskan dengan keberadaan kampung di sebelah barat laut bernama Mijen, yang berasal dari kata “wiji” (benih). Pohon asem atau asam (Tamarindus indica) dan pohon tanjung (Mimusops elengi) yang ditanam sepanjang jalan dari Panggung Krapyak menuju keraton juga memiliki arti tersendiri. Sinom, daun asam, melambangkan anom (muda). Bersama dengan pohon tanjung melambangkan anak muda yang selalu disanjung-sanjung oleh lingkungannya.

-

Lebih ke utara lagi terdapat Alun-Alun Selatan yang sekitarnya ditanami pohon pakel dan kweni. Pohon-pohon ini melambangkan pemuda yang sudah akil balig dan sudah wani (berani) meminang gadis pujaannya. 

Lebih ke utara, terdapat Siti Hinggil Kidul (kini dikenal sebagai Sasana Hinggil Dwi Abad). Di area Siti Hinggil Kidul juga terdapat pohon pelem cempora dan pohon soka. Pelem cempora yang berbunga putih melambangkan benih laki-laki dan soka yang berbunga merah melambangkan benih perempuan. Di kiri dan kanan Siti Hinggil Kidul terdapat jalan yang bernama Pamengkang, yang berarti posisi kaki yang berjauhan satu sama lain. Melambangkan gerbang menuju rahim. Lebih ke utara, terdapat kompleks Kamandhungan yang berasal dari kata kandungan. Simbol sukma atau janin yang menunggu dilahirkan.

Di sebelah utara Kamandhungan terdapat pelataran Kemagangan, yang melambangkan bahwa anak perlu magang untuk menjadi manusia dewasa. Maka dari itu, di kiri kanan Kemagangan terdapat kampung Sekullanggen dan Gebulen, tempat tinggal Abdi Dalem yang bertugas sebagai juru masak keraton. Penempatan kampung itu memberi arti bahwa anak yang sedang tumbuh memerlukan kecukupan makanan. Seputar area tersebut ditanami pohon jambu dersana (Syzgium malaccense/Eugenia malaccensis) yang bermakna keteladanan (sinudarsana).

Filosofi sangkan berhenti di sini, ketika anak sudah tumbuh menjadi manusia dewasa. Sedangkan filosofi paran dimulai dari Tugu Golong Gilig ke selatan menuju keraton. Tugu Golong Gilig semula memiliki ketinggian 25 meter. Puncak tugu berbentuk bola sehingga disebut “golong”, sedangkan badan tugu berbentuk kerucut terpancung yang berbentuk bulat panjang (gilig). Karena tugu tersebut berwarna putih maka dalam bahasa Belanda disebut De Witte Paal. Karenanya tugu ini juga sering disebut sebagai Tugu Pal Putih.

Secara filosofis, Tugu Golong Gilig melambangkan golonging cipta, rasa, lan karsa untuk menghadap Sang Khalik (bersatunya seluruh kehendak untuk menghadap Sang Pencipta). Warna putih dipilih untuk melambangkan kesucian hati yang harus menjadi dasar bagi upaya itu. Sebagaimana sumbu Panggung Krapyak menuju keraton, penamaan tempat dan pemilihan vegetasi pada sumbu yang menghubungkan Tugu Golog Gilig dan keraton pun memiliki filosofinya sendiri. 

Tugu Golong Gilig diapit oleh dua desa, yaitu Pingit (menyimpan) di Barat dan Gondolayu (bau mayat) di timur. Penamaan ini memiliki arti bahwa ketika manusia hendak memulai perjalanan menuju Sang Pencipta, maka yang pertama perlu dilakukan adalah meninggalkan hal-hal yang berbau busuk.

Dari Tugu Golong Gilig ke selatan, terbentang jalan yang dinamai Jalan Margatama yang berarti jalan menuju keutamaan. Selanjutnya adalah Jalan Maliabara (Jalan Malioboro) yang berarti penggunaan “obor” penerang, yaitu ajaran para wali. Ke selatan lagi terdapat Jalan Margamulya yang berarti jalan menuju kemuliaan. Untuk menuju ke sana, manusia harus bisa mengusir (ngurak) nafsu-nafsu yang buruk. Karena itu jalan berikutnya dinamai Jalan Pangurakan.

Sepanjang tepian Jalan Margatama hingga Jalan Margamulya ditanami pohon asam (asem) dan pohon gayam. Pohon asam melambangkan sengsem (ketertarikan) dan gayam melambangkan ayom (ketenangan). Maknanya, orang yang melewati jalanan sarat pesan kemuliaan tersebut akan merasa senang atau tertaik dan tenang atau nyaman. 

Jalan yang membentang dari tugu ke arah selatan akan berhenti di Alun-Alun Utara. Alun-alun diambil dari kata alun (ombak), menggambarkan berbagai gelombang yang dihadapi manusia sebelum kembali kepada Penciptanya. Gambaran ombak ini diwujudkan dalam bentuk pasir yang mengelilingi area Alun-Alun Utara.

Lebih ke selatan lagi, terdapat area Siti Hingil Lor. Di area tersebut terdapat pohon gayam, kepel (Stelechocarpus burahol), dan kemuning (Murraya paniculata). Pohon kepel dimaknai sebagai tangan yang mengepal, melambangkan tekad dan kemauan untuk bekerja sebagai manusia dewasa. Pohon kemuning dimaknai sebagai ning yang berarti keheningan sebagai lambang kesucian dan pikiran yang jernih.

Setelah itu, perjalanan dilanjutkan kembali menuju area Kamandhungan Lor atau yang lebih dikenal dengan sebutan pelataran Keben. Disebut demikian karena di area ini terdapat pohon keben (Barringtonia asiatica) yang bermakna tangkeben atau menutup. Bahwa dalam usia senja, perjalanan manusia harus bisa menutup segala tingkah laku yang kurang elok. Selanjutnya, area berikutnya adalah pelataran Srimanganti. Di area tersebut terdapat Bangsal Trajumas. Traju berarti timbangan, dan mas berarti logam mulia. Bangsal ini melambangkan bahwa manusia akan ditimbang amal baik dan buruknya di alam penantian (manganti) menuju keabadian.  

Alam abadi di Keraton Yogyakarta diwakili dengan pelita Kiai dan Nyai Wiji yang disimpan di Gedhong Prabayaksa, kompleks Kedhaton. Kedua pelita itu dijaga hingga tidak pernah padam sejak masa Sri Sultan Hamengku Buwono I sampai sekarang. Apinya diambil dari sumber api abadi Mrapen. 

Di halaman Kedhaton, ditanam pohon sawo kecik (Manilkara kauki), jambu klampok arum (Syzygium jambos), dan kantil (Magnolia champaca). Sawo kecik menyimbolkan perbuatan sarwo becik (serba baik). Pohon jambu klampok arum membawa pesan agar manusia bersikap “harum”, baik dalam ucapan dan tindakan. Pohon kantil memiliki makna kemantil-mantil atau selalu teringat. Artinya supaya manusia selalu ingat untuk berbuat baik.

Konsepsi paran berakhir di sini. Namun poros antar tugu, keraton, dan Panggung Krapyak tidak hanya memiliki makna tunggal. Khusus bagi Sultan, poros ini memiliki makna berbeda. Arahnya bukan dari tugu ke keraton, tetapi dari keraton ke tugu. Sebaliknya, dari keraton menuju Panggung Krapyak. 

=

Ketika Sultan duduk siniwaka di Bangsal Manguntur Tangkil yang berada di Siti Hinggil Lor, beliau akan bermeditasi dengan arah pandang ke Tugu Golong Gilig. Karena itu Tugu Golong Gilig juga berarti Manunggaling Kawula Gusti. Fasad Tugu yang mengarah ke atas juga merupakan pengejawantahan filosofi tersebut, yaitu meleburnya kawula atau rakyat dan gusti atau sultan. Sekaligus kawula dalam makna manusia (termasuk sultan) dan Gusti yang berarti Tuhan. 

Poros dari keraton hingga Tugu mencerminkan kewajiban Sultan untuk melindungi dan mengayomi rakyat. Sultan juga berkewajiban memfasilitasi masyarakat agar dapat hidup lebih baik dengan menyediakan materi dan pengayoman spiritual. Penyediaan materi disimbolkan dengan fasilitas ekonomi, yaitu Pasar Beringharjo dan fasilitas pemerintahan, berupa Gedung Kepatihan, sementara pengayoman spiritual dicerminkan oleh Masjid Gedhe. 

Hanya saja Tugu Golong Gilig yang dikenal sekarang telah berubah wujudnya. Tugu yang asli rusak akibat gempa pada tahun 1867. Tugu itu dibangun kembali dengan bantuan pemerintah Hindia-Belanda. Namun tugu tersebut bentuknya tidak sama dengan aslinya. Diduga, ini memang kesengajaan dari pemerintah Hindia-Belanda yang tidak suka dengan semangat kesatuan yang disimbolkan oleh tugu tersebut. Tidak cukup dengan itu, pemerintah Hindia-Belanda pun membangun rel kereta api yang memotong sumbu filosofi. 

Berbeda dengan konsepsi sangkan, bagi Sultan poros keraton menuju Panggung Krapyak merupakan area akhir (pungkuran). Salah satu pintu gerbang bagian selatan yaitu Plengkung Nirbaya atau yang sering disebut Plengkung Gading merupakan ruas jalan menuju tempat peristirahatan terakhir para Sultan di Pajimatan Imogiri. Oleh karena itu, setiap Raja yang bertakhta maupun keluarga intinya dilarang untuk melewati jalur tersebut.    

Sebagai arsitek andal, Sri Sultan Hamengku Buwono I merancang tetenger-tetenger atau penanda yang menegaskan harmonisasi antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Dari ruas sumbu filosofi dan titik-titik kunci penghubung, Kota Yogyakarta berkembang sebagai pusat pemerintahan, ekonomi, dan sosial. Tradisi kebudayaan juga terus lestari dan menjadi identitas masyarakat. Ruang-ruang di dalamnya membangkitkan denyut nadi ekonomi dan mata pencaharian banyak orang.

Kekayaan filosofi tata Kota Yogyakarta ini hendaknya tidak berhenti sebagai simbol-simbol belaka. Namun, dapat digunakan sebagai sumber kesadaran akan makna hidup. Tiap kali melintasi jalan-jalan Kota Yogyakarta yang bertumpu pada poros utara-selatan, sumbu ini seakan mengingatkan bahwa kehidupan itu merupakan perjalanan kembali kepada Sang Pencipta.


Sumber:

https://www.kratonjogja.id/tata-rakiting/21-sumbu-filosofi-yogyakarta-pengejawantahan-asal-dan-tujuan-hidup/

Share:

0 comments:

Posting Komentar

Copyright © Perpustakaan Wijaya Bhakti | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com